Cerpen : Persembahan Terakhir Kali untuk Bunda

Hari ini hari Sabtu, hari yang paling kubenci, karna hari ini aku harus pergi ke sebuah gedung menyebalkan yang disebut sekolah musik. Mungkin bagi sebagian besar teman-temanku disana, tempat itu sungguh menyenangkan. Alat-alat musik akustik dimainkan dengan indah. Mereka bisa memilih sendiri alat musik apa yang ingin mereka pelajari.
Namun tidak bagiku. Aku benci musik, apa lagi musik klasik, yang terpaksa kudengarkan setiap Sabtu sore. Uh……….menjenuhkan!
“Eva…segeralah bersiap-siap, jam empat nanti kamu sekolah musik bukan?” Tegur Bunda dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka.
“Iya Bunda….sebentar lagi aku berangkat!” Teriakku dari dalam kamar.
Yap, aku terpaksa menuruti kehendak Bunda agar aku belajar bermain biola di gedung menjengkelkan itu. Aku tau Bunda akan sangat kecewa padaku bila aku menolaknya. Aku masih cukup punya hati untuk itu. Bunda begitu teropsesi pada biola. Aku tak heran mengapa. Dulu bunda sangat menyukai biola. Bahkan, beliau sering pergi ke luar Negeri untuk mengikuti konser ataupun lomba memainkan biola. Namun impian Bunda pupus seketika karena harus kehilangan sebelah tangannya karena sebuah kecelakaan. Jadi Bunda melampiaskan semua impiannya padaku..
“Eva…….cepatlah nak, jangan sampai kau terlambat. Ini, biolamu sudah Bunda siapkan”
Aku tersadar dari lamunanku. Jarum jam menunjukkan pukul 15.50. Akupun berpamitan pada Bunda, dan melesat bersama sepeda kesayanganku.
Takdir mengantarku menjadi anak tunggal yang yatim membuat Bunda menaruh harapan besar padaku. Aku tak ingin menanggalkan keinginan Bunda, tapi ini bukan duniaku. Bagaimanapun aku harus mengatakan hal ini pada Bunda suatu saat nanti.
Siang itu, ketika aku baru pulang setelah bermain bola basket bersama teman-teman priaku, kudapati keadaan rumah begitu sepi. Lebih sepi dari biasanya.
“Dimana Bunda?” pikirku dalam hati.
Kutengok dapur, Bunda tak disana. Begitu juga di ruang baca, bekas ruang kerja ayah dulu. Bunda tak terlihat disana.
“ Bunda……Bunda……Eva pulang” teriakku. Namun tak ada jawaban.

Namun akhirnya kutemukan Bunda terbaring lemas diatas ranjangnya. Wajahnya pucat, dan tampaknya ia kesakitan. Aku duduk ditepi tempat tidur, dan bicara pada Bunda
“Bunda, Bunda kenapa? Apa Bunda sakit? Ayo Bun, Eva antar ke dokter”
“Bunda tidak apa-apa sayang, hanya sakit kepala biasa. Istirahat sebentar juga pasti sembuh, Bunda sudah biasa begini” kata Bunda tersenyum tipis.
Aku mengelus lembut kening Bunda. Ku sibakkan anak-anak rambut yang menjuntai di kening orang yang paling kusayang ini. Aku tak akan memaksanya. Karena aku tau betul sifat Bunda yang tidak suka dipaksa.
“Eva…”
“Iya Bunda”
“Belajarlah memainkan biola dengan sungguh-sungguh ya nak, jangan kecewakan Bunda. Bunda ini sudah tua, kamupun sudah dewasa. Bunda ingin sekali melihat Eva sukses sebelum Bunda berpulang”, kata Bunda lembut
“Bunda, jangan bicara yang tidak-tidak, Eva sayang Bunda”
“Bunda juga sayang sekali sama Eva…” jawab Bunda
Kata-kata Bunda barusan membuatku tersentak. Bagaimana aku bisa berprestasi bila aku tak bisa memainkan satu lagupun yang telah diajarkan? Akankah nanti Bunda kecewa padaku disaat-saat terakhirnya? Aku jadi merasa bersalah pada Bunda.
Di sampingku Bunda telah terlelap. Kupandangi wajahnya yang penuh kasih sayang. Garis-garis samar yang tertera di wajahnya menandakan kelelahan di usia tuanya. Rambutnyapun telah memutih. Semakin sayang aku pada Bunda.
Aku membelai pelan pipinya. Namun tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang kurang.
“Ya Allah, Bunda! Bangun Bunda!” teriakku panik
Aku baru menyadari, nafas Bunda tersendat-sendat. Segera aku mencari pertolongan dari para tetanggaku. Aku menangis dalam perjalanan menuju rumah sakit. Aku khawatir pada Bunda. Aku terus berdoa agar Bunda diberi kesempatan untuk tetap hidup.
Di rumah sakit, Dokter dan suster lalu lalang di depanku. Aku terus menerus berdoa. Aku tak bisa membendung airmataku. Semuanya terjadi begitu cepat.
Setelah lama menunggu, seorang Dokter menemuiku dan membawakan sebuah kabar
“Ibu anda berhasil kami selamatkan. Namun ada satu hal yang harus anda ketahui”
“Apa itu Dok?”
“Ibu anda menderita kanker otak stadium empat. Dan kami prediksikan, sisa hidupnya tinggal satu tahun lagi”
Aku tersentak mendengarnya. Benar-benar terpukul. Bunda yang begitu kusayang akan pergi dariku selamanya. Aku, seorang Eva yang orang-orang nilai tomboy ini menangis sehari penuh karena masalah ini. Entah apa yang akan kulakukan sepeninggalan Bunda nantinya.
Setelah kejadian itu, aku selalu berusaha untuk membahagiakan Bunda. Aku tidak memberi tahu Bunda tentang sisa umurnya yang tak lama lagi. Namun agaknya Bunda sudah mempunyai firasat.
Sabtu sore yang biasanya kulalui dengan tak bersemangat, kini berubah. Ku coba untuk lebih serius belajar biola. Memahami lagunya, dan belajar menyukainya. Selain itu aku juga mencoba untuk mengikuti seleksi dalam pemilihan pemain konser atau pemilihan wakil sekolah dalam sebuah lomba. Masih terngiang di telingaku, kata-kata Bunda yang menginginkan aku sukses. Khususnya sukses sebagai pemain biola.
Beberapa bulan kemudian, aku berhasil mewujudkan impian Bunda. Aku berhasil menjuarai sebuah kontes musik klasik Nasional bersama biolaku. Bangga rasanya. Terlebih Bunda, aku dapat melihat kebahagiaan yang mendalam dalam airmatanya ketika aku pulang sebagai juara.
Kemenanganku ini pula yang mengantarku pergi keluar Negeri untuk bertanding di kancah dunia. Sungguh, baru kali ini aku merasakan senangnya mewujudkan impian Orangtua.
Tidak begitu lama setelah kepulanganku ke Tanah Air dengan gelar juara, keadaan Bunda semakin melemah. Bunda seakan sudah tidak kuat lagi menahan deritanya itu. Aku hanya bisa menemaninya di sisa-sisa waktunya.
“Eva…terimakasih sayang, kamu telah menjadi seperti apa yang Bunda harap. Bunda bangga sekali padamu” Bunda berkata lirih
Aku tersenyum. Kuraih tangan kanan Bunda yang masih berfungsi, dan ku dekap penuh kasih.

“Bila nanti Bunda tiada, janganlah kamu jadi anak pemurung. Hidupmu masih akan terus berjalan. Hidupilah dirimu sendiri, Eva. Eva anak yang mandiri, bukan?”
Aku mengangguk pelan. Miris rasanya mendengar suara Bunda yang bergetar.
“Hanya satu pesan Bunda. Jangan berhenti bermain biola, Eva”
“Iya Bunda, Eva janji. Tidak akan mengecewakan Bunda. Eva akan terus bermain biola” jawabku dengan suara serak, menahan airmata.
“Bunda percaya sama Eva…bolehkah Bunda mendengarkan sebuah lagu dari biolamu, nak? Sebagai lagu pertama dan terakhir yang Bunda dengar darimu.”
Aku mengangguk, lalu beranjak mengambil biolaku. Lantas, aku berdiri di dekat ranjang Bunda. Ku mainkan sebuah lagu kesayangan Bunda. Aku memainkan biolaku dengan penuh perasaan. Perasaan kasihku terhadap Bunda.
Bunda meneteskan airmata ketika mendengar permainanku. Beliau tersenyum manis, sebelum akhirnya menutup matanya saat lagu itu belum selesai kumainkan.
Aku menangis disamping jasad Bunda. Aku tidak bisa menutupi kesedihanku. Namun tenang rasanya melihat Bunda yang tersenyum sebelum meninggal. Semoga laguku dapat mengantar kepergiannya menuju surga. Itulah doaku saat itu.
Kini aku hidup berkecukupan. Berkat prestasi-prestasiku dulu, aku mendapat beasiswa sekolah tinggi seni di Jerman. Semua kebutuhanku ditanggung pemerintah. Di Jerman pula aku dipertemukan dengan pendamping hidupku.
Ku rencanakan untuk pulang ke Indonesia satu minggu lagi. Aku ingin menjenguk rumah peninggalan Bunda yang telah kusumbangkan sebagai perpustakaan sekolah seni yang telah menjunjung namaku. Aku juga ingin menengok makam Bunda yang tak jauh dari sana. Aku akan memainkan biolaku di depan makan Bunda. Agar Bunda bahagia melihatku sekarang yang datang bersama menantu dan cucunya

0 komentar:

Posting Komentar