Rss Feed

TONGUE TWISTER

~ The twenty two train tore trough the tunne
~ We surely shall see the sun shine sun
~ Wayne went to wales ro watch Walrus
~ When a doctor doctors a doctor, does the doctor doing the doctoring
doctor as the doctor being doctored wants to be doctored or does the doctor doing the doctoring doctor as he wants to doctor?
~ Four furious friends fought for the phone
~ I thought a thought but the thought I thought wasn’t the thought I thought
~ Which witch wished which wicked wish
~ She sald the should sit

Kungfu Dunk

Kungfu Dunk is the title of movie from Chinese which telling about the son that want meet with him parents pass basket world.
In story this movie started with invention a baby by the old man feeling has couple to him, but seemingly he less suitable to take care the baby. So, that old man delivering the baby to his brother which a teacher. That baby is given name Fang Shi Jie. One day by his teacher, Fang Shi Jie is taught knowledge about how to creating backward time. That knowledge decanted in book” To Change Universe”. Without cause which early Fang Shi Jie’s teacher passing away at the time training knowledge “To Change Universe”.
After his teacher is dying, Fang Shi Jie continuing practice his kungfu in a Kungfu School till him adult. One day an head master angry because every Fang Shi Jie practice, he is always wear iron vest. Fang Shi Jie get punishment may not dinner and may not come back.
Fang Shi Jie go from his Kungfu School. In outside he is fad throw beverage can to dustbin, and repeatedly enter. Seemingly his talent known by the old person existing from side him. The person’s name is Uncle Li. Then Fang Shi Jie invited to his house. After dinner, Uncle Li invite Fang Shi Jie gambling in night club. In there, Fang Shi Jie involve fight with the power of area.
The next day, Fang Shi Jie’s headmaster angry because hearing occurrence in night club. Fang Shi Jie destroy school reputation. Then Fang Shi Jie dissipated from his school.
Fang Shi Jie even go and meeting Uncle Li. Fact Uncle Li is the person which estae madness and money, but he is a good too. Hence, he even bring Fang Shi Jie enter in basket school. That’s school name is University Di Yi. In that’s school there is a team of basket which very solid and delay. That’s team led by a captain which frustation because his loved have died. That’s captain have a sister, her name is Lily. In that’s team one of them member’s name is Xiao Lan. He is the including reliable leader.
After passing some test, finally Fang Shi Jie succeed to be accepted to become team member. In the time which brief, Fang Shi Jie to be player of basket which excitement. His achievement continue mounting, and he even famous progressively. Have contested, the journalist always scrambling want interview with him.
One day, opponent team realize greatness Fang Shi Jie, then opponent team order one of the member’s name Litian to invite Fang Shi Jie join with that team. Uncle Li as his manager even will give very big money if he will sell Fang Shi Jie, but Uncle Li refusing of it. Fang Shi Ji and his team continue to go forward to final act. In preparation of Final act of four learn Fang Shi Ji in Kungfu School suddenly come and support. Fang Shi Jie progressively the spirit.
Contest even started. Contest take place to exclaim and strained. Score contest of flimsy difference where team of Fang Shi Jie fail one poin. In that contest opponent team do various insincerity. Finally, team of Fang Shi Jie fail. All its supporter very disappointed, particularly again Uncle Li and Lily. In that’s time, Fang Shi Jie mindful of his teacher teaching that is creating backward time. Then he try that teaching. He even succeeding repeat time. Ball which he ought to shoot, he send to his team. And the ball even enter. Team Fang Shi Jie win. All his supporter happy cheer. Fang Shi Jie and all its team happy.
The next day, when Fang Shi Jie fiddling faddle with Uncle Li suddenly there is a girl person searching him.That person is Wang Yi Wan erranded, richest people in Asia. After meeting, reality Wang Yi Wan is father contain Fang Shi Jie. In meeting of Wang Yi Wan explain that he perforced to leaving Fang Shi Jie, because him chases by addict of debt. And existing glass ball his choker represent evidence that he is child contain Wang Yi Wan
Wang Yi wan mean to invite Fang Shi Jie to London to inherit all its properties in all the world. That Meanwhile, Uncle Li feel sorrowful because him lossing Fang Shi Jie
One night when Uncle Li is drinking grape, suddenly Fang Shi Jie come meeting him, and say that he more compatible live in Chinese together with him. Fang Shi Jie say, that Uncle Li very meritorious in his life. Though Uncle Li is the person which estae madness, but Fang Shi Jie know that Uncle Li is person which goodness.

Cerpen :Cinta Sebatas Mimpi

Dapatkah seseorang mencinta hanya karena sepotong mimpi? Mustahil. Namun, adikku semata wayang mengalaminya – setidaknya itu yang diakuinya. Gadis yang dicintainya adalah Lala, adik sepupunya sendiri. Wajar, bukan? Bahkan, menjadi halal saat kedua orang tuaku kemudian berpikir untuk meminangnya.
Semua berawal dari penuturan Jamal. Ia bilang, ia memimpikan Lala sebagai gadis yang diperkenalkan Ibu kepadanya sebagai calon istrinya. Kami sudah saling mengenal, Bu,” kata Jamal dalam mimpi itu dengan malu-malu. Gadis itu pun mengangguk dengan senyum malu-malu pula.
Sebenarnya Jamal tidak terlalu meyakini gadis itu adalah Lala. Wajahnya samar terlihat. Namun, Jamal merasakan aura gadis itu cukuplah ia kenal. Hebatnya, ini diperkuat oleh ayah kami. Di malam yang sama, beliau bermimpi tentang Jamal yang duduk di kursi pelaminan bersama Lala! Apakah ini pertanda? Entah. Hanya saja, sejak itu aku merasakan pandangan Jamal terhadap Lala berubah.
Mereka sebenarnya teman bermain di waktu kecil, namun tak pernah bertemu lagi sejak remaja. Keluarga Lala tinggal jauh di Surabaya, sementara kami di Jakarta. Kami jarang berkumpul, bahkan saat lebaran, sehingga kenangan yang dimiliki Jamal tentang Lala adalah kenangan di masa kecil dulu sebagai abang yang kasih kepada adiknya. Kasih dimana sama sekali tak terpikirkan untuk memandang Lala sebagai gadis yang pantas dicintai, bahkan halal dinikahi. Namun, mimpi itu mampu menyulap semuanya menjadi…cinta (?).
Mari katakan aku terlalu cepat menyimpulkan sebagai cinta. Barangkali saja itu hanya pelangi yang tak kunjung sirna mengusik relung hati adikku. Pelangi yang mampu merubahnya menjadi sok melankolis hingga membuat kami sekeluarga khawatir melihat ia kerap termenung menatap kejauhan, untuk kemudian mendesah perlahan.
“Mungkin kau harus menemuinya di Surabaya,” kata Ibu.
”Rasanya tak usah, Bu. Masak hanya karena bunga tidur aku menemuinya,” jawab Jamal.
”Barangkali saja itu pertanda.”
”Bahwa Lala jodoh saya?”
”Bukan. Bahwa sudah lama kau tak mengunjungi mereka untuk bersilaturahmi. Biar nanti Mbakmu dan suaminya yang menemanimu kesana.”

Jamal tertegun sejenak untuk kemudian mengangguk. Wah, pintar sekali Ibu membujuk. Padahal tanpa sepengetahuan adikku yang pendiam itu, Ibu menyerahi kami tugas untuk ”meminang” Lala. Ibu betul-betul yakin mimpi itu sebagai pertanda sehingga memintaku menanyakan kepada Lala tentang kemungkinan kesediaannya dipersunting Jamal.
”Kenapa tidak minta langsung saja pada Paklik? Biar mereka dijodohkan saja,” kataku waktu itu.
”Ah, adikmu itu takkan mau.”
”Tapi…”
”Sudahlah. Ibu tahu Jamal belum terlalu dewasa. Kuliah saja belum selesai. Tapi setidaknya ia memiliki penghasilan dari usaha sambilannya berdagang, ‘kan?”
“Bukan itu maksudku. Apa Ibu yakin Jamal mau dengan Lala? Barangkali saja mimpinya hanya romantisme sesaat.”
Ibu tercenung. Aku yakin Ibu belum memastikan ini. Yang beliau tahu hanya Jamal yang bertingkah aneh. Itu saja. Selebihnya ia perkirakan sendiri. Sepertinya justru Ibulah yang ngebet ingin meminang Lala.
”Kupercayakan semua itu padamu.”
Walah! Berarti tugasku berlipat-lipat! Selain memastikan kesediaan Lala, aku pun harus memastikan perasaan adikku sendiri.
Ia diam. Sudah kuduga reaksinya begitu jika kutanyakan tentang kemungkinan perjodohannya dengan Lala.
“Kamu mencintainya?” Aku mengganti pertanyaan. Kali ini Jamal malah terkekeh.
”Mungkin… Entahlah. Rasanya tak wajar.”
Tentu saja tak wajar! Bagiku, mencinta karena sepotong mimpi hanya omong kosong. Lagi pula Jamal tak tahu seperti apa wajah dan kepribadian Lala dewasa ini. Aku pun tak tahu.
“Santai saja, Mal. Tak usah dipikirkan. Yang penting kita tiba dulu di sana,” kata Bang Rohim, suamiku.
Setiba di Surabaya, kami disambut keluarga Lala hangat. ”Wah, iki Jamal tho? Oala, wis gedhe yo?!” ucap Bulik. Jamal hanya tersenyum. Apalagi saat pipi gendutnya dijawil Bulik seperti saat ia kanak-kanak dulu.
”Mana Lala, Bulik?” tanyaku saat tak mendapati anak semata wayangnya itu.
”Ada di dapur. Sedang bikin wedhang.”
Aku segera ke dapur. Aku sungguh penasaran seperti aPa Lala sekarang. Kulihat saorang gadis di sana. SubhanalAh, cantiknya! Ia mencium tanganku. Hmm, santun pula& Cukup pant`s untuk Jamal. Tapi, aku harus menahan diri. Kata Bang Rohim, butuh pendekatan persuasif untuk menjalankan misi ini. Aku tak yakin aku bisa sehingga menyerahkan sepenuhnya skenario kepadanya.
Tak banyak yang dilakukan Bang Rohim selain meminta Lala menjadi guide setiap iami bertiga pergi ke pusat kota. Ia melarangku membicarakan soal perjodohan, pernikahan, pinangan atau apapun istilahnya kepada Lala. Katanya, kendati kami keluarga dekat, sudah lama kami tidak saling bersua. Bisa saja Lala memandang kami sebagai ”orang asing”. Upaya melancong bersama ini demi untuk mengakrabkan kembali Jamal, Lala dan aku. Kiranya ini dapat memudahkanku saat mengutarakan maksud kedatangan kami sesungguhnya nanti.
Malam ini saat dimana aku diperbolehkan suamiku mengungkapkan semuanya kepada Lala. Seharusnya memang begitu. Tapi Jamal mendahuluiku. Tak kusangka ia serius dengan perasaannya. Ia utarakan semuanya. Tentang mimpinya, tentang jatuh cinta, bahkan tentang pinangan.
“Mungkin Dik Lala menganggap ini konyol. Abang juga merasa begitu. Tapi, setidaknya sekarang Abang yakin dengan perasaan Abang. Jadi, mau tidak kalau Lala Abang lamar?”
Bukan manusia kalau Lala tidak kaget ditembak seperti itu. Ia tampak galau. Seperti aku dulu. Sayang Lala tak merespon seperti aku merespon pinangan Bang Rohim dulu.
“Maaf, Mas. Aku terlanjur menganggapmu sebagai kakak. Rasanya sulit untuk merubahnya.”
Berakhirlah. Sampai di sini saja perjuangan kami di Surabaya. Jamal tersenyum mengerti, namun kuyakini hatinya kecewa. Cintanya yang magis tak berakhir manis. Kami pulang ke Jakarta dengan penolakan.
Sejak hari itu, Jamal tak terlihat lagi melankolis. Ia kembali sibuk dalam aktivitasnya. Adikku itu benar-benar hebat. Kendati patah hati, ia tak mau larut dalam perasaannya. Bahkan, belakangan aku tahu ia belum menyerah. Setidaknya penolakan itu berhasil mengakrabkan kembali Jamal dengan Lala. Mereka berdua kerap berkirim SMS sekedar menanyakan kabar ataupun saling bercerita. Jamal betul-betul memandang ini sebagai peluang untuk mengubah pandangan Lala terhadapnya.
Waktu kian berganti hingga masa dimana Jamal mengutarakan lagi keinginannya itu. Sayang ditolak lagi. Begitu berulang hingga tiga kali. Ayah dan Ibu prihatin melihatnya. Mereka tak bisa berbuat banyak. Keinginan mereka untuk menjodohkan saja keduanya Jamal tolak.
”Syarat orang yang menjadi calon istriku, haruslah tulus ikhlas menjadi pendampingku. Atas kemauannya sendiri, bukan pihak lain!” Begitu alasannya selalu.
Terserahlah apa katanya. Tapi ini sudah menginjak tahun kelima Jamal memelihara cinta tak kesampaian ini. Usianya kian mendekati kepala tiga. Cukup mengherankan ia tetap memeliharanya terus. Rasanya tak layak cinta itu dipelihara terus. Ia harus diberangus. Lala bukanlah gadis terakhir yang hidup di dunia. Untuk itu Ibu, Ayah dan aku kongkalikong untuk membunuh cinta Jamal. Sudah saatnya ia mempertimbangkan gadis-gadis lain. Kebetulan ada yang mau. Pak Haji Abdullah sejak lama ingin bermenantukan Jamal dan menyandingkannya dengan Azisa, anak sulungnya. Kami susun perjodohan tanpa sepengetahuan Jamal. Lantas, kami sekeluarga berusaha ”menghasut” Jamal untuk memperhitungkan keberadaan Azisa, temannya sejak SMU itu.
Alhamdulillah berhasil. Hati Jamal mulai terbuka untuk Azisa sehingga saat Pak Haji Abdullah meminta dirinya menjadi menantu, ia tak punya lagi pilihan selain mengiyakan.
Kesediaan Jamal memang sudah didapat, namun anehnya ia tak kunjung juga menentukan tanggal pernikahan. Kali ini naluriku sebagai kakak turut bermain. Rasanya Jamal tengah menghadapi masalah yang tak dapat dibaginya kepada siapapun, termasuk Azisa. Saatnya aku menjadi kakak yang baik untuknya.
”Entahlah, Mbak. Rasanya aku tak siap untuk menikah.”
Mataku terbelalak saat Jamal mengutarakan penyebabnya.
”Apa pasal?” tanyaku agak jeri. Aku tak berani membayangkan jika Jamal tiba-tiba membatalkan perjodohan. Keluarga kami bisa menanggung malu!
”Rasanya Azisa bukan jodohku.”
Aku semakin terkesiap. Aku mulai menduga-duga arah pembicaraannya.
”Lala-kah?” tanyaku. Jamal mengangguk pelan, namun pasti.
”Sebenarnya mimpi tempo hari itu tak sekonyong datang. Aku memintanya kepada Tuhan. Aku meminta Dia memberikan petunjuk tentang jodohku kelak. Dan yang muncul ternyata Lala!”
Aku kembali terdiam. Aku benar-benar payah. Sudah setua ini, masih saja tak dapat menjadi kakak yang baik buat Jamal. Aku bingung harus menanggapi bagaimana.
”Maafkan jika selama ini Mbak tak bisa menjadi kakak yang baik, Mal. Bahkan untuk masalahmu satu ini pun Mbak tak bisa menjawab. Hanya saja, kita tak akan pernah benar-benar tahu apa yang kita yakini benar itu sebagai kebenaran, Mal. Termasuk mimpimu. Mbak tidak tahu lagi harus menganggapnya omong kosong ataukah benar-benar pertanda. Kalaulah mimpi itu pertanda, pasti banyak sekali maknanya.”
”Kamu memaknainya sebagai cinta dan jodoh, Ibu memaknainya sebagai silaturahmi dan Ayah memaknainya sebagai tipikal istri ideal bagimu. Bukankah Azisa pun tak berbeda jauh dengan Lala? Mimpi itu nisbi, Mal.”
Jamal hanya mendesah pelan sambil memandang kejauhan. Mukanya masam. Mungkin tak menghendaki aku bersikap tak mendukungnya.

”Mungkin,” lanjutku, ”ini hanya masalah cinta saja. Mungkin hatimu masih hidup dalam bayangan Lala dan tak pernah sekali pun memberi kesempatan untuk dimasuki Azisa. Kau hidup di kehidupan nyata, Mal. Sampai kapan akan menjadi pemimpi?!”
Aku tersentak oleh ucapanku sendiri. Tak kuduga akan mengucapkan ini. Bukan apa-apa. Beberapa waktu lalu kami mendengar kabar Lala menerima pinangan seseorang. Kendati menyerah, aku yakin Jamal masih memiliki cinta untuk Lala. Ia pasti sakit. Aku betul-betul kakak yang tak peka. Aku menyesal. Aku peluk Jamal, menangis sesal.
Jamal turut menangis. Isaknya berenergi kekesalan, kekecewaan, kesepian, keputus-asa-an, bahkan kesepian. Aku terenyuh. Betapa ia menderita selama ini.
“Besok kita batalkan saja perjodohan dengan Azisa, Mal. Itu lebih baik ketimbang kau tak ikhlas menjalaninya nanti. Itu katamu tentang pernikahan, ‘kan? Kita bicarakan dulu dengan Ayah dan Ibu.”
Kupikir ini yang terbaik. Tak bijak rasanya tetap berkeras melangsungkan perjodohan di saat Jamal rapuh begini. Di saat Jamal terluka dan bimbang pada perasaannya. Biarlah keluarga kami menanggung malu bersama.
“Tidak. Kita teruskan saja. Aku ikhlas menjalani sisa hidupku bersama Azisa. Mungkin aku hanya membutuhkan sedikit menangis saja. Aku pergi dulu ke rumah Pak Haji untuk membicarakan ini. Assalamu’alaikum.”
Kutatap kepergian Jamal dengan perasaan tak tentu. Kalau diingat semua ini terjadi karena mimpi. Ya, Allah apakah benar mimpi itu pertanda-Mu? Jikalau benar kenapa sulit sekali terrealisasi? Jika pun tidak benar kenapa banyak orang mempercayai?
Aku terpekur. Maafkan aku adikku. Aku hanyalah insan, yang tak mampu menerjemahkan segala misteri-Nya, bahkan yang tersurat sekalipun. Aku hanya berusaha. Dia tetap yang menentukan. Maafkan aku.

Poem : Friendship

Im not sure wat to say.
i dont know how u feel
just please dont cry
and some way we will deal

i kno its been tough
and i know your heart is torn
youve been passed around
from the day u were born

u fall asleep one place
wake up in another
ur tears replace ur smile
no permanent cover

u lie in my arms
and cry when i put u down
u just want to be held
want someone around


Not What I Thou

Bung Tomo

Nalika tanggal 10 November 1945, ing Surabaya ana perang campuh yuda. Perang antarane Tentara Republik Indonesia karo tentara sekutu kang nalika iku dipandhegani Ingrris. Ya ing wektu iku Landa kang wis minggat saka bumi Indonesia kanthi mbonceng Sekutu kepengin bali njajah maneh Negara kita. Tentara Indonesia, mligine arek-arek Surabaya padha maju ngadhepi mungsuh sing teka.
Arek-arek Surabaya nesu tenan bareng Ingrris menehi ultimatum, supaya arek-arek Surabaya seleh gegaman lan kudu pasha bongkokan. Kanthi nggawa gaman saanane, ana bambu runcing, pedhang lan bedhil kuna., kabeh padha maju kanthi semangat kang murub. Semangat kanggo ngusir penjajah.
Nalika iku Surabaya dadi ajange perang gedhen tenan. Ing ngendi-endi ana suwara bedhil, granat, lan mriyem pating jeglur. Kukus nggembuleng ing ngendi-endi. Geni ing kana-kene murab-murab ngobong apa wae.
Ing kahanan mangkono iku, ana sawijining pemudha kang nduweni semangat gedhe. Sadhela-sadhela aweh semangat marang para pejuang, marang arek-arek Surabaya. Anggone mbakar semangat liwat radhio. Mula meh kabeh rakyat nalika iku yen Bung Tomo sesorah ana radhio padha nglumpuk ngrungoake. Semangat bali thukul makantar-kantar maneh.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Sedulur-sedulurku kabeh warga Surabaya! Arek-arek, pemudha-pemudha Surabaya! Ayo, maju terus pantang mundur. Rawe-rawe rantas malang-malang putung. Sadhumuk bathuk, sanyari bumi, kudu dilabuhi tekan pati! Ayo, usiren Tentara Inggris! Ayo, usiren Tentara Walanda. Aja wedhi, pantang mundur! Kita kudu menang! Surabaya kudu kita regem. Indonesia kudu mardika! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Mangkono saben-saben Bung Tomo aweh sesorah, aweh semangat marang para pejuang. Pidhatone bisa gawe semangat kang murub tenan. Para pejuang tambah saya gumregut. Lan ora aneh yen nalika iku pimpinane Sekutu, yaiku Brigadir Jenderal Mallaby nemoni tiwas ing paprangan kena mimise para pejuang, ya arek-arek Surabaya. Bung Tomo mula bisa nggugah semangate para pejuang, lan iku katindake meh saben dina. Tekad lan semangate Bung Tomo sing mangkono iku pantes tinular dening para mudha saiki. Berjuang ora mung nganggo bedhil apadene granat, nanging uga bisa kanthi mbakar semangat kayadene Bung Tomo mangkono iku.
Mula ora aran aneh yen sabanjure pamarentah banjur aweh anugerah, aweh pangaji-aji kanthi gelar pahlawan nasional tumrap Bung Tomo.

Puisi : Sebuah Pengorbanan Daun

Sebatang daun
Kering dan kuning
Jatuh ke bumi
Sambil berbisik lirih
”Aku sudah terbuang dari lingkungan”
”Adakah disini sudi, menerima hadirku ini”

Kemudian datang orang berlalu
Daun merana terpijak sepatu
Daunpun hanya bisa diam
Menerima nasibnya yang malang
Seperi itu...

Kemudian, tik...tik...tik...
Hujanpun datang
Daun yang tadinya jatuh ke bumi
Ikut kemana air pergi

Tak lama kemudian daunpun tiba
Dibawah pepohonan tinggi
Semakin kering
Dan semakin menguning

Setelah beberapa hari...
Daun yang kuning menjadi busuk
Dan akhirnya berubah
Menjadi tanah
Menjadi humus

Sebatang daun
Kering dan kuning
Jatuh, terbuang sia-sia
Ikut menyumbang jasa

Cerpen : Persembahan Terakhir Kali untuk Bunda

Hari ini hari Sabtu, hari yang paling kubenci, karna hari ini aku harus pergi ke sebuah gedung menyebalkan yang disebut sekolah musik. Mungkin bagi sebagian besar teman-temanku disana, tempat itu sungguh menyenangkan. Alat-alat musik akustik dimainkan dengan indah. Mereka bisa memilih sendiri alat musik apa yang ingin mereka pelajari.
Namun tidak bagiku. Aku benci musik, apa lagi musik klasik, yang terpaksa kudengarkan setiap Sabtu sore. Uh……….menjenuhkan!
“Eva…segeralah bersiap-siap, jam empat nanti kamu sekolah musik bukan?” Tegur Bunda dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka.
“Iya Bunda….sebentar lagi aku berangkat!” Teriakku dari dalam kamar.
Yap, aku terpaksa menuruti kehendak Bunda agar aku belajar bermain biola di gedung menjengkelkan itu. Aku tau Bunda akan sangat kecewa padaku bila aku menolaknya. Aku masih cukup punya hati untuk itu. Bunda begitu teropsesi pada biola. Aku tak heran mengapa. Dulu bunda sangat menyukai biola. Bahkan, beliau sering pergi ke luar Negeri untuk mengikuti konser ataupun lomba memainkan biola. Namun impian Bunda pupus seketika karena harus kehilangan sebelah tangannya karena sebuah kecelakaan. Jadi Bunda melampiaskan semua impiannya padaku..
“Eva…….cepatlah nak, jangan sampai kau terlambat. Ini, biolamu sudah Bunda siapkan”
Aku tersadar dari lamunanku. Jarum jam menunjukkan pukul 15.50. Akupun berpamitan pada Bunda, dan melesat bersama sepeda kesayanganku.
Takdir mengantarku menjadi anak tunggal yang yatim membuat Bunda menaruh harapan besar padaku. Aku tak ingin menanggalkan keinginan Bunda, tapi ini bukan duniaku. Bagaimanapun aku harus mengatakan hal ini pada Bunda suatu saat nanti.
Siang itu, ketika aku baru pulang setelah bermain bola basket bersama teman-teman priaku, kudapati keadaan rumah begitu sepi. Lebih sepi dari biasanya.
“Dimana Bunda?” pikirku dalam hati.
Kutengok dapur, Bunda tak disana. Begitu juga di ruang baca, bekas ruang kerja ayah dulu. Bunda tak terlihat disana.
“ Bunda……Bunda……Eva pulang” teriakku. Namun tak ada jawaban.

Namun akhirnya kutemukan Bunda terbaring lemas diatas ranjangnya. Wajahnya pucat, dan tampaknya ia kesakitan. Aku duduk ditepi tempat tidur, dan bicara pada Bunda
“Bunda, Bunda kenapa? Apa Bunda sakit? Ayo Bun, Eva antar ke dokter”
“Bunda tidak apa-apa sayang, hanya sakit kepala biasa. Istirahat sebentar juga pasti sembuh, Bunda sudah biasa begini” kata Bunda tersenyum tipis.
Aku mengelus lembut kening Bunda. Ku sibakkan anak-anak rambut yang menjuntai di kening orang yang paling kusayang ini. Aku tak akan memaksanya. Karena aku tau betul sifat Bunda yang tidak suka dipaksa.
“Eva…”
“Iya Bunda”
“Belajarlah memainkan biola dengan sungguh-sungguh ya nak, jangan kecewakan Bunda. Bunda ini sudah tua, kamupun sudah dewasa. Bunda ingin sekali melihat Eva sukses sebelum Bunda berpulang”, kata Bunda lembut
“Bunda, jangan bicara yang tidak-tidak, Eva sayang Bunda”
“Bunda juga sayang sekali sama Eva…” jawab Bunda
Kata-kata Bunda barusan membuatku tersentak. Bagaimana aku bisa berprestasi bila aku tak bisa memainkan satu lagupun yang telah diajarkan? Akankah nanti Bunda kecewa padaku disaat-saat terakhirnya? Aku jadi merasa bersalah pada Bunda.
Di sampingku Bunda telah terlelap. Kupandangi wajahnya yang penuh kasih sayang. Garis-garis samar yang tertera di wajahnya menandakan kelelahan di usia tuanya. Rambutnyapun telah memutih. Semakin sayang aku pada Bunda.
Aku membelai pelan pipinya. Namun tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang kurang.
“Ya Allah, Bunda! Bangun Bunda!” teriakku panik
Aku baru menyadari, nafas Bunda tersendat-sendat. Segera aku mencari pertolongan dari para tetanggaku. Aku menangis dalam perjalanan menuju rumah sakit. Aku khawatir pada Bunda. Aku terus berdoa agar Bunda diberi kesempatan untuk tetap hidup.
Di rumah sakit, Dokter dan suster lalu lalang di depanku. Aku terus menerus berdoa. Aku tak bisa membendung airmataku. Semuanya terjadi begitu cepat.
Setelah lama menunggu, seorang Dokter menemuiku dan membawakan sebuah kabar
“Ibu anda berhasil kami selamatkan. Namun ada satu hal yang harus anda ketahui”
“Apa itu Dok?”
“Ibu anda menderita kanker otak stadium empat. Dan kami prediksikan, sisa hidupnya tinggal satu tahun lagi”
Aku tersentak mendengarnya. Benar-benar terpukul. Bunda yang begitu kusayang akan pergi dariku selamanya. Aku, seorang Eva yang orang-orang nilai tomboy ini menangis sehari penuh karena masalah ini. Entah apa yang akan kulakukan sepeninggalan Bunda nantinya.
Setelah kejadian itu, aku selalu berusaha untuk membahagiakan Bunda. Aku tidak memberi tahu Bunda tentang sisa umurnya yang tak lama lagi. Namun agaknya Bunda sudah mempunyai firasat.
Sabtu sore yang biasanya kulalui dengan tak bersemangat, kini berubah. Ku coba untuk lebih serius belajar biola. Memahami lagunya, dan belajar menyukainya. Selain itu aku juga mencoba untuk mengikuti seleksi dalam pemilihan pemain konser atau pemilihan wakil sekolah dalam sebuah lomba. Masih terngiang di telingaku, kata-kata Bunda yang menginginkan aku sukses. Khususnya sukses sebagai pemain biola.
Beberapa bulan kemudian, aku berhasil mewujudkan impian Bunda. Aku berhasil menjuarai sebuah kontes musik klasik Nasional bersama biolaku. Bangga rasanya. Terlebih Bunda, aku dapat melihat kebahagiaan yang mendalam dalam airmatanya ketika aku pulang sebagai juara.
Kemenanganku ini pula yang mengantarku pergi keluar Negeri untuk bertanding di kancah dunia. Sungguh, baru kali ini aku merasakan senangnya mewujudkan impian Orangtua.
Tidak begitu lama setelah kepulanganku ke Tanah Air dengan gelar juara, keadaan Bunda semakin melemah. Bunda seakan sudah tidak kuat lagi menahan deritanya itu. Aku hanya bisa menemaninya di sisa-sisa waktunya.
“Eva…terimakasih sayang, kamu telah menjadi seperti apa yang Bunda harap. Bunda bangga sekali padamu” Bunda berkata lirih
Aku tersenyum. Kuraih tangan kanan Bunda yang masih berfungsi, dan ku dekap penuh kasih.

“Bila nanti Bunda tiada, janganlah kamu jadi anak pemurung. Hidupmu masih akan terus berjalan. Hidupilah dirimu sendiri, Eva. Eva anak yang mandiri, bukan?”
Aku mengangguk pelan. Miris rasanya mendengar suara Bunda yang bergetar.
“Hanya satu pesan Bunda. Jangan berhenti bermain biola, Eva”
“Iya Bunda, Eva janji. Tidak akan mengecewakan Bunda. Eva akan terus bermain biola” jawabku dengan suara serak, menahan airmata.
“Bunda percaya sama Eva…bolehkah Bunda mendengarkan sebuah lagu dari biolamu, nak? Sebagai lagu pertama dan terakhir yang Bunda dengar darimu.”
Aku mengangguk, lalu beranjak mengambil biolaku. Lantas, aku berdiri di dekat ranjang Bunda. Ku mainkan sebuah lagu kesayangan Bunda. Aku memainkan biolaku dengan penuh perasaan. Perasaan kasihku terhadap Bunda.
Bunda meneteskan airmata ketika mendengar permainanku. Beliau tersenyum manis, sebelum akhirnya menutup matanya saat lagu itu belum selesai kumainkan.
Aku menangis disamping jasad Bunda. Aku tidak bisa menutupi kesedihanku. Namun tenang rasanya melihat Bunda yang tersenyum sebelum meninggal. Semoga laguku dapat mengantar kepergiannya menuju surga. Itulah doaku saat itu.
Kini aku hidup berkecukupan. Berkat prestasi-prestasiku dulu, aku mendapat beasiswa sekolah tinggi seni di Jerman. Semua kebutuhanku ditanggung pemerintah. Di Jerman pula aku dipertemukan dengan pendamping hidupku.
Ku rencanakan untuk pulang ke Indonesia satu minggu lagi. Aku ingin menjenguk rumah peninggalan Bunda yang telah kusumbangkan sebagai perpustakaan sekolah seni yang telah menjunjung namaku. Aku juga ingin menengok makam Bunda yang tak jauh dari sana. Aku akan memainkan biolaku di depan makan Bunda. Agar Bunda bahagia melihatku sekarang yang datang bersama menantu dan cucunya